RUU KUHAP 2025: Kitab Hukum yang Mengancam Keadilan dan Hak Asasi
Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 tengah menuai kritik tajam
dari berbagai elemen masyarakat sipil, akademisi, hingga praktisi hukum.
Harapan untuk memperbarui sistem peradilan pidana agar lebih adil, modern, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia justru tampak jauh dari kenyataan ketika
mencermati isi dan proses pembentukan RUU ini.
Secara
substansi, RUU KUHAP 2025 menyimpan banyak persoalan krusial yang dinilai dapat
melemahkan prinsip-prinsip negara hukum dan membuka ruang pelanggaran hak warga
negara. Setidaknya terdapat sembilan persoalan utama yang telah diidentifikasi
oleh lembaga pemantau hukum seperti Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR). Beberapa di antaranya mencakup ketidakjelasan definisi alat bukti,
lemahnya mekanisme pengawasan terhadap penyidik, serta dihapuskannya peran
hakim pemeriksa pendahuluan yang sebelumnya menjadi benteng awal dalam
pengawasan tindakan paksa oleh aparat.
Penghapusan
peran hakim dalam tahap awal proses pidana dinilai berbahaya karena memberikan
kekuasaan yang sangat besar kepada penyidik, khususnya dari kepolisian. Hal ini
berarti tindakan seperti penangkapan, penahanan, dan penggeledahan dapat
dilakukan tanpa pengawasan yudisial yang ketat. Situasi ini tidak hanya
bertentangan dengan prinsip due process of law, tetapi juga berpotensi
memperbesar praktik penyiksaan, salah tangkap, hingga kriminalisasi terhadap
warga sipil.
RUU ini juga
menunjukkan ketimpangan dalam pembagian kewenangan antara penegak hukum. Jaksa
penuntut umum justru dibatasi perannya dalam mengawasi proses penyidikan. Salah
satu ketentuan menyebutkan bahwa komunikasi antara jaksa dan penyidik hanya
diperbolehkan satu kali dalam satu perkara. Ketentuan ini mengabaikan prinsip
koordinasi dan supervisi dalam sistem peradilan pidana yang selama ini
dijalankan secara kolektif antara penyidik dan penuntut umum.
Peran advokat
pun tidak diakomodasi secara optimal. RUU KUHAP 2025 belum menjamin secara
eksplisit hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum sejak tahap awal
penyidikan. Padahal, pendampingan hukum sejak dini merupakan prinsip dasar
perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan bagian penting dari keadilan
prosedural.
Kritik juga
diarahkan pada proses legislasi yang dianggap terburu-buru dan minim
partisipasi publik. Dalam dua hari pembahasan, lebih dari 1.600 Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM) diselesaikan tanpa ruang yang cukup untuk mendengar
pendapat masyarakat, praktisi, maupun korban pelanggaran hukum. Kondisi ini
menciptakan keraguan terhadap kualitas dan legitimasi substansi RUU tersebut.
Ketidakharmonisan
antara RUU KUHAP dan KUHP Nasional juga menjadi sorotan akademisi. KUHP yang
baru disahkan pada 2023 membawa semangat pembaruan dan keadilan restoratif,
namun semangat ini tidak tercermin dalam KUHAP yang seharusnya menjadi
perangkat prosedural dari KUHP tersebut. RUU KUHAP 2025 justru masih
mengedepankan pendekatan represif, dengan minimnya ruang bagi penyelesaian
konflik secara damai, pengakuan terhadap korban, atau penerapan mekanisme
alternatif seperti restorative justice dan diversi.
Dampak buruk
dari lemahnya pengawasan hukum sudah dapat dilihat dari kasus-kasus
ketidakadilan yang terjadi sebelumnya. Salah satunya adalah kasus kematian
Gamma, seorang remaja 17 tahun, akibat ditembak aparat kepolisian. Kasus
tersebut mencerminkan risiko nyata dari sistem hukum yang tidak mengedepankan
akuntabilitas, kontrol yudisial, dan perlindungan hak asasi.
RUU KUHAP 2025
dinilai belum layak untuk disahkan dalam bentuknya yang sekarang. Beberapa
tuntutan penting yang disuarakan oleh berbagai pihak antara lain:
2. Mengembalikan peran hakim pemeriksa pendahuluan untuk memperkuat kontrol terhadap tindakan paksa yang dilakukan penyidik.
3. Memperjelas posisi dan peran advokat, serta menjamin akses pendampingan hukum bagi tersangka sejak tahap awal.
4. Meningkatkan koordinasi antara penyidik dan jaksa, dengan menghindari pembatasan komunikasi yang kontraproduktif terhadap penegakan hukum.
5. Menyelaraskan KUHAP dengan KUHP, termasuk integrasi prinsip keadilan restoratif, penguatan perlindungan terhadap korban, serta pendekatan hukum yang lebih manusiawi.
RUU KUHAP
seharusnya menjadi tonggak penting untuk membangun sistem peradilan pidana yang
adil, transparan, dan berpihak pada keadilan substantif. Namun, apabila
disahkan tanpa perbaikan mendasar, RUU ini justru berpotensi menjadi instrumen
represi baru yang melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Penting bagi proses legislasi ini untuk kembali diarahkan pada prinsip-prinsip konstitusi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta keterlibatan aktif seluruh komponen masyarakat dalam menentukan arah masa depan sistem hukum Indonesia.
Salam Sipakatau, Sipakainge, Sipakamase
0 Comments: